Mengapa BlackBerry laris-manis? Menurut kelakar yang beredar, musababnya adalah karena banyak orang meyakini ponsel ini antisadap. ”Tak heran Anggota Dewan banyak yang memesan,” canda seorang petinggi di suatu operator penyedia layanan BlackBerry.
Kelakar itu kontekstual, baik untuk fenomena booming BlackBerry, maupun juga menggambarkan situasi politik nasional setahun belakangan ini yang diwarnai dengan pengungkapan kasus melalui teknik penyadapan telekomunikasi. Bahkan pengungkapan percakapan telekomunikasi menjadi sebuah preseden hukum baru dan mendapat apresiasi ketika dilakukan pada tingkat Mahkamah Konstitusi.
Bak bola salju, belakangan ini pemutaran rekaman penyadapan telepon di ruang pengadilan makin sering dilakukan dan cenderung menjadi hal yang lumrah. Bahkan, percakapan-percakapan vulgar menyangkut aktivitas seksual mau tak mau ikut diungkap (dan disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi nasional). Seakan-akan, rekaman pembicaraan masyarakat bisa dengan mudah diperoleh untuk dijadikan alat bukti.
Depkominfo vs KPK
Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo), Tifatul Sembiring, sempat menengarai terjadi saling sadap antarinstansi pemerintah sehingga perlu diberlakukan pengaturan. "Berhubung telah keluarnya Undang-Undang (UU) IT Nomor 11 Tahun 2008, maka perlu diatur penyadapan dengan PP sehingga tak main sadap saja. Konsep RPP sudah ada dan diharapkan enam bulan mendatang selesai," katanya. Menurut Tifatul, di negara lain, seperti Australia, Korea, dan Jepang, penyadapan (lawful interception) itu dihela di bawah kendali Departemen ICT seperti Depkominfo (Koran Jakarta, 7 Desember 2009).
Kontan Rencana Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Intersepsi (RPP Penyadapan) ini mengundang reaksi. Jumbuh dengan konteks ontran-ontran politik dalam soal dugaan pelemahan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), maka segera peraturan ini dituduh sebagai bagian dari upaya besar untuk melemahkan lembaga independen itu. RPP dianggap akan membatasi gerak KPK dalam penyadapan yang sudah menjadi kewenangan lembaga itu melalui Undang-undang KPK. Dalam Pasal 12 huruf (a) UU No 30 Tahun 2002 tentang Tipikor disebutkan, dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 huruf c, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
Tak kurang dari Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, mewanti-wanti bahwa sebaiknya RPP tersebut tidak menyangkut substansi. "Tetapi jika isinya mengatur mengenai obyek, subyek, dan siapa yang berhak menyadap, itu sudah ranah UU, bukan PP," katanya. Menurut Mahfud, RPP hanya diperbolehkan mengatur tentang mekanisme penyadapan. Izin pengadilan itu harus diatur dalam UU (kompas.com, 21 Desember 2009). MK juga sudah pernah mengeluarkan keputusan yang memperkuat kewenangan KPK atas penyadapan, yaitu pada putusan Nomor 6 Tahun 2003 dan Nomor 11 Tahun 2006.
Bahkan pro-kontra makin memanas ketika kemudian tersulut perseteruan antara anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Adnan Buyung Nasution, dengan Tifatul Sembiring. Buyung heran dengan kengototan Tifatul. "Jangan-jangan dia disuruh koruptor atau termasuk juru bicaranya. Itu sebagai corruptor fight back," tuduhnya. Mendengar ini, Tifatul mengancam akan memberhentikan Buyung dari Wantimpres (yang jelas terdengar hanya merupakan respons emosional saja). Yang jelas poin dari pendiri YLBHI ini adalah pemerintah boleh saja membuat aturan soal penyadapan. Namun, hal itu hanya bisa berlaku untuk polisi dan kejaksaan saja.
“Boleh dibikin tapi dikecualikan buat KPK, KPK jangan diganggu dulu,” tegas Buyung.
Kecurigaan bahwa target utama RPP Penyadapan ini adalah KPK sangat beralasan. Ada banyak poin dalam rancangan yang bertentangan dengan UU KPK. Juru Bicara KPK Johan Budi menyampaikan, KPK sudah menyerahkan delapan masukan terkait pembahasan RPP Penyadapan untuk Menkominfo Tifatul Sembiring.
Delapan masukan itu adalah, soal persyaratan penyadapannya; penetapan ketua pengadilannya (terkait syarat pengajuan izin ke pengadilan sebelum menyadap); pengertian penyadapan sendiri, sebab antara UU ITE dengan UU KPK itu berbeda pengertiannya; tata cara dan syarat penyadapan, karena harus dalam UU bukan PP; masalah pusat pelayanan intersepsi, di mana KPK menolak karena penyadapan bersifat rahasia; masalah izin penyadapan yang harus diperjelas; standar peralatan penyadapan juga harus diperjelas; masalah administrasinya juga harus diperjelas (kompas.com, 18 Desember 2009).
Depkominfo vs KPI
Bukan sekali ini saja Depkominfo ”bentrok” dengan lembaga independen lain dan cenderung ingin mengambil alih wewenang sebagai regulator. Sebelum ini Depkominfo juga ”bertarung” dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam tarik-menarik soal ijin untuk lembaga penyiaran existing.
Pada kasus itu, KPI merasa Depkominfo menjadikan mereka subregulator penyiaran saja. Ini akibat penerbitan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 17/P/M.KOMINFO/6/2006 tertanggal 7 Juni 2006 yang mengatur tentang tata cara penyesuaian izin penyelenggaraan penyiaran bagi lembaga penyiaran swasta dan berlangganan existing. Permenkominfo Nomor 17 ini adalah turunan dari PP No. 50 dan 52 PP Penyiaran yang ditolak keabsahannya oleh DPR dan KPI. Penolakan ini dilakukan karena DPR dan KPI melihat ketidaksesuaian antara isi yang diatur dalam PP Penyiaran dengan UU Penyiaran. Padahal jelas, kapanpun dan dimanapun, produk perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan produk di atasnya (http://kpi.go.id, 13 Juni 2006).
Menurut Agus Sudibyo (Direktur Yayasan Sains, Estetika, dan Teknologi (SET), http://agussudibyo.wordpress.com), Peraturan Menkominfo No. 17/2006 menunjukkan bahwa prioritas Depkominfo bukanlah pelembagaan sebuah public service information apparatus. Begitu banyak peristiwa nasional: tsunami di Aceh, bencana busung lapar, gizi buruk, flu burung, dan terakhir gempa bumi di DIY-Jawa Tengah yang luput dari keterlibatan Depkominfo sebagai information apparatus.
Lembaga ini justru sibuk memerlebar rentang otoritasnya, hingga menjangkau ranah media dan penyiaran yang sesungguhnya sudah tidak relevans lagi diatur pemerintah. Semakin lama semakin jelas prioritas utama Depkominfo adalah bagaimana mengembalikan otoritasnya sebagai regulator media. Di sini, kita bukan hanya berbicara upaya untuk mengambil alih otoritas regualtor penyiaran dari KPI. Dalam kaitannya dengan pers cetak, ada indikasi-indikasi untuk mengambil fungsi-fungsi Dewan Pers sebagaimana diatur dalam UU Pers No. 40 1999. Menurut Agus, posisi sebagai regulator media memang mengandung potensi politik-ekonomi yang sangat besar dan patut diperebutkan. Dari posisi inilah dahulu Departemen Penerangan secara efektif dan otoriter mengontrol sikap politik media. Dari sisi ekonomi, izin penyiaran dapat diperlakukan layaknya komoditas yang bisa diperjualbelikan tanpa prosedur yang transparan dan fair. Dan bukan rahasia lagi bahwa praktek ini telah menghasilkan keuntungan ekonomi bagi para pejabat publik di departemen teknis pemerintah yang memegang otoritas izin penyiaran.
USO yang ”Too Slow”
Jika dirunut balik, Depkominfo hadir sebagai jelmaan hasil ”merger” Departemen Penerangan plus Dirjen Pos dan Telekomunikasi (Dirjen Postel), melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005. Kehadiran Dirjen Postel ini membawa konsekuensi finansial yang besar karena di bawahnya terseret belanja pemerintah yang besar dalam sektor telekomunikasi, mengikuti arus besar perkembangan infrastruktur ekonomi dunia yang berbasis teknologi telekomunikasi dan informasi.
Menurut Bisnis Indonesia (5 Agustus 2009), Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) dalam kurun waktu 2005-2008 terutama berasal dari PNBP Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi yang dipungut sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2005 tentang Tarif atas PNBP yang berlaku pada Depkominfo. Jenis penerimaan tersebut terdiri atas biaya hak penyelenggaraan frekuensi, biaya hak penyelenggaraan jasa telekomunikasi, pendapatan jasa tenaga, pekerjaan informasi, pelatihan dan jasa teknologi, kontribusi kewajiban pelayanan universal telekomunikasi (Universal Service Obligation), dan pendapatan pendidikan, sewa, dan penghapusan aset.
Tahun 2008, realisasi penerimaan PNBP Depkominfo sebesar Rp7,7 triliun, mengalami peningkatan Rp2,6 triliun atau 51% dibandingkan dengan realisasi pada 2007sebesar Rp5,1 triliun.
Lantas, sampai pertengahan tahun 2009, pemerintah membukukan penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp7,2 triliun, di antaranya dari penggelaran broadband wireless access sebesar hampir Rp900 miliar, dari penjualan pita frekuensi seluler generasi ketiga (3G) ke Telkomsel sebesar Rp160 miliar ditambah up front fee Rp160 miliar. Nilai itu bisa saja bertambah apabila empat operator 3G lainnya juga menambah pita 3G tambahan sebesar 1 blok atau 5 MHz sehingga berpotensi memberikan pundi-pundi keuangan pemerintah sebanyak Rp1,5 triliun.
Dari jumlah itu, Depkominfo akan membelanjakannya sebagian besar untuk melanjutkan proyek USO (Universal Service Obligation). Depkominfo masih berutang menggelar pembangunan telepon perdesaan dalam kerangka USO di 31.824 ribu desa (desa berdering) dan program desa pintar yang berbasis internet (5.748 kecamatan).
Skema pembiayaan USO yang sudah dimulai sejak 2006 ini bisa disebut tidak berjalan mulus, too slow. Persoalan hukum muncul akibat tender yang bermasalah menjadi kendala paling berat kemulusan pelaksanaannya. Baru menjelang akhir tahun 2009 ini proyek desa berdering mulai terealisir.
Sebelumnya, XL memilih mundur dari tender. Presiden Direktur PT Excelcomindo Pratama Tbk. (XL) Hasnul Suhaimi mengatakan pihaknya mundur dari tender USO karena tidak mau setengah-setengah. "Setelah dipikir-pikir, perhitungan kami dalam program USO ini tidak pas hitungannya. Dibanding setengah-setengah, lebih baik kami fokus pada kualitas layanan, kami juga punya pelanggan yang perlu diperhatikan," ujar Hasnul. XL akan tetap menyokong program tersebut dengan menyiapkan harga khusus bagi pihak yang mau menggunakan infrastruktur XL dalam proyek USO. "USO ini kan thin client. Jadi kami bisa berikan volume discount," papar Hasnul (detik.com, 20 November 2007).
Setelah agak beres dengan desa berdering, maka USO akan dilanjutkan dengan inovasi lain, yaitu ”desa internet” atau Internet Kecamatan. Namun, lagi-lagi, proses tender tampaknya tak akan berjalan mulus. Menurut Investor Daily (16 November 2009), minat operator ikut tender minim. Dari 19 peserta tender, operator telekomunikasi yang maju ke babak selanjutnya hanya Telkom dan Telkomsel. Peserta tender lainnya mundur, seperti PT Aplikanusa Lintasarta (anak usaha Indosat), PT Icon+ (anak usaha PLN), PT Pos Indonesia, PT Raharja Media Internet, dan PT Netwave Multimedia, PT Indosat Mega Media/IM2, dan PT Berca Hardaya Perkasa.
Vox Populi Vox Dei
Daripada mengurusi pengaturan penyadapan oleh lembaga independen yang sudah dilindungi oleh Undang-undang lain yang lebih kuat, lebih baik energi Depkominfo digunakan untuk memercepat pemenuhan cita-cita mulia USO.
Masih jutaan rakyat yang bahkan disadap pun tak akan bisa karena tidak terpapar akses telekomunikasi. Tanpa penyelenggaran jaringan telekomunikasi jalur pintas melalui USO, bisa-bisa sebagian besar rakyat tak akan pernah bisa menikmati sambungan telekomunikasi. Ketika USO dicanangkan pada tahun 2006, total teledensitas telepon di Indonesia masih berada pada angka 35%. Dari angka itu, 29%-nya disumbang oleh telepon seluler. Sedang andil telepon tetap makin hari makin menurun sampai hanya sekitar 6%-nya. Kecenderungan membengkaknya andil seluler ini umum terjadi di seluruh dunia.
Meski penetrasi jaringan seluler begitu pesat hingga dalam 3 tahun saja (2004-2006) mampu menggelembungkan angka teledensitas telepon dua kali lipat, dari 18% menjadi 35%, namun tetap saja sampai hari ini belum 50% penduduk Indonesia tak terjangkau peranti telekomunikasi. Saking pentingnya telekomunikasi, jika boleh memilih, mungkin mereka akan memilih disadap, pokoknya asal bisa berkomunikasi. Mereka tak akan peduli apakah jaringan yang mereka gunakan tak aman atau sengaja disadap, toh memang mereka hanya butuh buat berkirim kabar penting atau sapa kerinduan, bukan buat membagi-bagi jarahan korupsi atau konspirasi politik tingkat tinggi.
Coba bayangkan kebutuhan darurat rakyat di pedalaman yang tak terjangkau jaringan telepon saat terdesak harus menghubungi dokter. Bukankah, jika bisa memilih, mereka akan lebih suka teriakan SOS-nya disadap dan dengan demikian didengar lebih banyak orang? Namun sayang, masih ratusan juta rakyat yang bakal tak bisa didengar suaranya akibat belum terjangkau telekomunikasi. Padahal kita ingat adagium “Vox Populi Vox Dei”, suara rakyat adalah suara Tuhan. Jadi, jika ingin mengetahui kehendak Tuhan atas negeri ini, biarkan seluruh rakyat berpotensi terpapar oleh penyadapan telekomunikasi dan dapat didengar suaranya. Karena dengan menyadap rakyat, maka berarti kita telah menyadap Tuhan. Bukankah keren jika kita memiliki akses langsung terhadap kehendak Tuhan?***