Sejarah Baru Setelah Penjajah Membuat Pelabuhan Tanjung Priok


Sejarah Baru Setelah Penjajah Membuat Pelabuhan Tanjung PriokOleh SATRYA BIMA
MOBIL ITU  meletus mengeluarkan api yang bergerak seolah sedang menunjuk-nunjuk ke langit. Ada jutaan keringat keluar dari tubuh-tubuh yang lelah dan kesal. Tampak seseorang berkata di tengah kerumunan tersebut sambil mengangkat tiga botol minuman keras, “Minuman keras ini kami temukan di mobil itu,” katanya pada seseorang.
Saya terdiam. Televisi di hadapan saya seringkali tidak berbicara jujur. Tapi kali ini kebohongannya sedikit demi sedikit mulai diragukan. Dia berbicara banyak tentang pemaksaan, ketidakadilan dan kekejamaan. Bahkan, dia telah berani mempertontonkan pada semua orang bahwa darah yang merah itu sebenarnya dapat keluar dari telinga, gigi, mata dengan cepat dengan cara dihentakkan dengan batu. Ah ! Adakah di antara mereka yang sedang mabuk?
Tubuh-tubuh yang lelah dan kesal mungkin kehabisan tenaga setelah membuat sejarah baru Indonesia. Mereka beristirahat sejenak. Hujan di bulan April yang turun malam itu membuat api di sekitar mereka sedikit menurun. Perjuangan untuk menjaga makam leluhur masih akan berlangsung sampai kapanmu, kata seseorang.
Begitulahlah suasana yang terjadi pada 14-15 April 2010, yaitu tragedi berdarah Tanjung Priok, yang telah membuat masyarakat Indonesia tercengang. Bentrokan yang terjadi antar warga dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) tersebut adalah berita duka yang seharusnya menjadi pelajaran untuk kita semua, khususnya seorang pemimpin dalam menentukan suatu kebijakan.
Kegagalan Pemerintah Daerah
Peristiwa yang meledak di Tanjung Priok adalah fakta ketidakberesan pemerintah daerah dalam menyelesaikan persengketaan tanah. Seharusnya pemerintah daerah (DKI Jakarta) mengutamakan penyelesaian dengan komunikasi yang baik, tidak hanya sebelah pihak saja, dan bukan juga dengan cara kekerasan atau main gusur. Sebab, cara ini hanya memancing kemarahan dan kekecewaan ratusan bahkan jutaan orang yang terlibat dan menyaksikannya.
Kedua, ketidakberesan pemerintah dalam melestarikan benda-benda bersejarah. Sebab, seperti kita ketahui bahwa Situs Makam Keramat Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad Al-Haddad  atau berdasarkan cerita rakyat dijuluki dengan Mbah Priok adalah situs cagar budaya golongan A, artinya sebuah bangunan yang mempunyai kriteria nilai sejarah dan keaslian yang penting untuk dijaga terutama bentuk keasliannya. Dan tentunya ini dimiliki oleh umat muslim dan situs sejarah yang sangat penting untuk dunia ilmu pengetahuan, atau bukan milik siapa-siapa. Walaupun berdasarkan sisi hukum, situs tersebut berada di kawasan Pihak Pelabuhan Indonesia II.
Dengan adanya ketidakberesan ditambahlagi munculnya korban pada peristiwa tersebut, timbul sebuah kesan bahwa pemerintah daerah DKI Jakarta kurang mempertimbangkan nilai-nilai kebudayaan yang berkembang di masyarakat. Dan ini bukan pertama kali.
Suara Budaya, Agama, dan Sejarah
Persoalan persengketaan tanah dan penggusuran di Indonesia, memang, bukanlah suatu hal yang baru. Tugas itu memang tak mudah dan memakan banyak waktu. Akan tetapi, hal yang perlu kita sadari, khususnya pemerintah, dalam membuat suatu kebijakan, perlu mempertimbangkan banyak hal, di antaranya, kebijakan yang berdasarkan sisi humanisme, agama, sejarah, dimana hal-hal tersebut dapat dinetralisir  apabila berada dalam pembicaraaan kebudayaan.
Hal ini juga selalu saja menjadi “pericuh” atau “penentang” setiap adanya kebijakan dari pemerintah dalam melakukan pembangunan. Kita tidak perlu berdalih bahwa pembangunan yang akan dibuat pemerintahan demi keindahan (tata-kota) atau lebih spesifik lagi untuk kemajuan perekonomian. Karena semua orang tau itu, bahwa pemerintah bertugas menjalankan roda pembangunan untuk kepentingan rakyat. Sekali lagi, semua sudah tahu. Dan kita semua tentu yakin, tidak ada rakyat yang akan menentang suatu kebijakan jika untuk kepentingan rakyat itu sendiri.
Tinggal sekarang, bagaimana pemerintah mempertimbangkan suatu kebijakan yang memang benar-benar dari keinginan rakyat, dan tentunya juga berdasarkan hasil musyawarah/dialog yang dapat dipertanggungjawabkan dari segala unsur, tidak hanya sisi keamanan, ekonomi, dan politis.
Tentunya, peristiwa Tanjung Priok adalah pelajaran dan sejarah baru di Indonesia. Kenapa mesti kita mempelajari penjajah (Pemerintah kolonial Belanda), pada saat menjajah Indonesia, dan melakukan penggusuran makam Habib Hassan dengan cara yang tidak benar dan akhirnya jatuh korban di pihaknya sendiri.Saya tidak tahu, apakah pemerintah DKI Jakarta sudah pernah membaca sejarah itu, sebelum menentukan kebijakannya? Entahlah. [*] DPT